`


THERE IS NO GOD EXCEPT ALLAH
read:
MALAYSIA Tanah Tumpah Darahku

LOVE MALAYSIA!!!


Friday, June 10, 2022

Perbahasan Agama Di Indonesia Lebih Matured, Intelligent Dan Tanpa Ancaman Hukuman Penjara, Kekerasan, Keganasan, Tanpa Kena Culik Atau Di - Disappeared-kan

 Saya telah menerima artikel berikut "Pro-Kontra Pelajaran Agama di Sekolah" (dari seorang pembaca, tksh) yang telah dipetiknya dari media Indonesia. Saya ulangi artikel tersebut di sini dengan sepenuhnya. Sila baca sedikit ulasan saya pada penghujungnya.

Pertama sekali kita boleh melihat bahawa tahap perbincangan umum (public discussion) di Indonesia berkenaan isu agama adalah sangat terbuka dan tanpa tapisan, suntingan atau sekatan itu dan ini.  Penganalisa, penulis dan ahli pemikir Indonesia makin matang dan maju dalam penggunaan bahasa dan isi perbahasan mereka.

Anyway mari kita baca dulu isu Pro-Kontra Pelajaran Agama di Sekolah oleh Sumanto al Qurtuby yang juga menjadi  Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Anggota Dewan Penasehat Asosiasi Antropologi Indonesia Jawa Tengah.

https://www.dw.com/id/pro-kontra-pelajaran-agama-di-sekolah/a-61792987



 

 14 Mei 2022

Sejak beberapa tahun terakhir masyarakat Indonesia ramai membicarakan tentang wacana perlu-tidaknya pelajaran agama di sekolah, khususnya sekolah negeri yang berada di bawah otoritas pemerintah.

Sebagian masyarakat menganggap pelajaran agama itu bukan hanya perlu tetapi juga sangat penting untuk anak didik. Sementara sebagian yang lain menganggap pelajaran agama di sekolah itu tidak perlu dan tidak penting. Yang perlu dan penting, menurut mereka, adalah tentang pendidikan moral dan budi pekerti.

Pro-kontra itu disebabkan karena alasan dan argumen yang berbeda. Kelompok yang setuju pelajaran agama beralasan kalau agama adalah ajaran fundamental yang akan membawa keselamatan manusia di dunia dan akhirat karenanya harus diperkenalkan pada peserta didik sejak sedini mungkin. Bagi kelompok ini, agama penting diajarkan di sekolah karena ia merupakan "pedoman hidup” yang bisa membimbing manusia ke "jalan yang benar”. Lebih penting lagi, mengajarkan agama di sekolah merupakan kewajiban yang dimandatkan oleh Tuhan dan Kitab Suci mereka.

Sementara itu, kelompok yang kontra pelajaran agama di sekolah berargumen kalau ia berpotensi untuk disalahgunakan dan diselewengkan oleh para guru/dosen untuk tujuan dan kepentingan tertentu. Bukan hanya itu, mereka berpendapat, agama juga dijadikan sebagai instrumen untuk memupuk eksklusivisme dan fanatisme serta menyebarkan kebencian terhadap orang/umat agama lain yang membahayakan fondasi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Bagai Pedang Bermata Dua

Memang tidak mudah untuk menyelesaikan dan mengkompromikan pro-kontra pendapat masyarakat tentang pelajaran agama di sekolah karena mereka berangkat dari alasan, tujuan, dan basis argumen yang berbeda. Misalnya, kelompok yang pro mengandaikan agama sebagai sesuatu yang baik, positif, serta membawa kemaslahatan umat manusia. Sedangkan kelompok yang kontra menganggap agama memiliki "sisi gelap” yang bisa membawa dampak negatif di masyarakat dan mengancam relasi antara umat manusia.

Agama memang bak pedang bermata dua. Satu sisi agama berisi ajaran kemanusiaan universal seperti cinta, kasih sayang, rahmat (kerahiman), tolong-menolong, dlsb yang tentu saja sangat baik dan positif bagi masyarakat dari latar belakang etnis dan agama manapun. 

Tetapi di pihak lain, agama juga berisi teks ajaran, norma, aturan, atau wacana yang–jika tidak diantisipasi dengan baik–bisa membawa keburukan di masyarakat seperti :

  • diktum tentang klaim kebenaran dogma
  • klaim keselamatan pascakematian
  • purifikasi keimanan
  • kesesatan kepercayaan lain, dlsb. 

Itulah sebabnya kenapa sejarawan University of Notre Dame, Scott Appleby, menyebut agama sebagai "The Ambivalence of the Sacred”.

Agama adalah ibarat kontainer, pasar, atau supermall yang bisa berisi atau diisi dengan barang apapun oleh si empunya atau si pelaku. Watak atau karakter agama yang ambigu atau ambivalen inilah yang menyebabkan agama bisa menjadi sumber kebaikan tetapi juga keburukan sekaligus, kemaslahatan dan kemudaratan, kecintaan dan kebencian, perdamaian dan kekisruhan, toleransi dan intoleransi, keberadaban dan kebiadaban, kepicikan dan pluralisme, kemunduran dan kemajuan, dan seterusnya.

Jika agama jatuh ke tangan "si baik”, maka ia akan dijadikan sebagai ilham atau sumber inspirasi untuk membangun peradaban manusia dan hubungan antara umat yang penuh dengan spirit kebersamaan, persaudaraan, rahmat, dan kasih-sayang.

Sebaliknya, jika agama jatuh ke tangan "si jahat dan buruk rupa”, maka ia akan dijadikan sebagai alat untuk menipu umat, menumpuk kekayaan, menggapai syahwat kekuasaan, memupuk kebencian, menciptakan keangkaramurkaan, memprovokasi kerusuhan, memusnahkan kebudayaan, merusak lingkungan dan alam semesta, dan bahkan membunuh sesama umat manusia.

Indonesia (dan belahan dunia manapun) sudah membuktikan semua itu. Ada kelompok agama yang baik hati, toleran-pluralis, dan manusiawi tetapi juga ada sekelompok agama yang bejat, tak bermoral, fanatik ekstrim, dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Termasuk dari kelompok agama ini adalah para guru agama itu sendiri, baik guru agama di sekolah maupun institusi lainnya. Ada guru-guru agama yang baik dan memahami pentingnya hidup dalam damai di masyarakat yang majemuk. Tetapi ada pula guru-guru agama yang tidak mau mengerti dan tidak peduli dengan keberadaan umat agama lain.

Masing-masing kelompok agama ini, termasuk para guru agama, mendasarkan sikap, pikiran, tindakan, dan aksi mereka pada diktum-diktum dan tafsir agama yang mereka yakini dan pedomani.

Pentingkah Pelajaran Agama di Sekolah?

Jika ambivalensi atau ambiguitas itu adalah watak/karakter inheren sebuah agama, masih perlukah pelajaran agama di sekolah?

Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada dua hal mendasar berikut ini. Pertama, kurikulum/pelajaran agama macam apa yang akan diajarkan di sekolah dan kedua, guru agama model apa yang akan mengajarkan agama di sekolah.

Jika kurikulum/pelajaran agama yang diajarkan itu berisi nilai-nilai kemanusiaan yang baik dan positif untuk membangun harmoni sosial di masyarakat yang multiagama serta demi kemajuan bangsa dan negara, maka tidak ada masalah agama diajarkan di sekolah-sekolah. Sudah sejak zaman dahulu kala pelajaran agama diajarkan di sekolah-sekolah formal maupun lembaga pendidikan informal di Indonesia tetapi tidak menimbulkan masalah berarti dan problem sosial yang signifikan di masyarakat.

Tetapi jika kurikulum/pelajaran agama yang diajarkan itu berisi ajaran, norma, aturan, dan wacana yang bernuansa negatif dan berpotensi menciptakan keburukan, disharmoni, dan kemunduran di masyarakat, maka pelajaran agama itu tidak perlu dan tidak penting sama sekali untuk diajarkan pada peserta didik.

Pula, jika para guru yang mengajarkan pelajaran agama itu adalah para guru yang baik, berpikiran terbuka, berpandangan luas, dan berwatak toleran-pluralis, maka pelajaran agama di sekolah itu bukan hanya perlu tetapi sangat penting untuk diajarkan pada anak didik. 

Sebaliknya, jika para guru agama itu adalah sekumpulan orang yang berpikiran cupet dan fanatik buta, berpandangan sempit, serta berwatak rigid dan eksklusif yang anti kemajemukan dan kemanusiaan, maka pelajaran agama di sekolah itu sama sekali tidak perlu dan tidak penting.  

Disinilah peranan penting pemerintah dan elemen masyarakat untuk mengawasi dan memastikan kualitas pelajaran agama macam apa yang diajarkan di sekolah serta guru agama model apa yang mengajarkan pelajaran agama di sekolah.

Pemerintah dan masyarakat harus pro-aktif mengawal jalannya pendidikan serta proses belajar-mengajar di sekolah agar lembaga pendidikan tidak dijadikan sebagai 

  • (1) sarang kelompok fanatik, radikal, ekstrimis, dan intoleran
  • (2) alat untuk memproduksi ajaran dan wacana intoleransi, ultrafanatisisme, antikemajemukan, dan kontrakebangsaan dan 
  • (3) medium untuk mencetak manusia-manusia bebal, intoleran, ultrafanatik, radikal-ekstrimis, close-minded, serta anti terhadap fondasi kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia.

Pemerintah khususnya tidak perlu ragu untuk "menertibkan” kurikulum/pelajaran agama di sekolah serta menindak tegas para guru agama yang berhaluan radikal-militan karena mereka hanya akan menjadi duri dan penyakit bagi masyarakat, bangsa, dan negara.       

Sumanto Al Qurtuby

Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Anggota Dewan Penasehat Asosiasi Antropologi Indonesia Jawa Tengah.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

My comments:

Pendapat saya berlainan sedikit.

Pengajian agama di sekolah kebangsaan di Malaysia adalah fenomena baru. Bila saya  bersekolah pada tahun 1960an dan 1970an tidak ada kelas agama dalam kurikulum sekolah atau dalam peperiksaan LCE (PMR) dan MCE (SPM). Tetapi kita tidak kurang atau kehilangan kepercayaan dan amalan Islam. Generasi ayah saya pula (zaman penjajah British) lebih hebat mengenali Islam dan segala jenis pengajarannya. 

Memang kita tidak pernah belajar doa talqin, sembahyang jenazah atau cara mandi mayat tetapi tidak ada seorang pun orang Islam pada zaman itu yang meninggal dunia yang dikebumikan tanpa doa, tanpa sembahyang jenazah dan mandi mayat. Semuanya selamat. Tidak ada sesiapa pun yang tidak tahu lima waktu sembahyang sehari, puasa pada bulan puasa, bayar duit zakat atau naik haji di Mekah. Tidak ada sesiapa pun orang Islam yang tidak tahu zina itu haram dan minum arak tidak dibenarkan agama.

Begitu juga di negara lain di mana orang Islam adalah minoriti dan langsung tidak ada pelajaran agama di peringkat sekolah kerajaan seperti di India, Singapura, United Kingdom, Rusia dan China. Bukan saja mereka tidak kekurangan kepercayaan agama tetapi mereka juga berjaya  mewujudkan para pemikir, pakar agama dan penulis yang telah menghasilkan buku dan kajian yang dikenali seluruh dunia.   Abdullah Yusuf Ali contohnya berasal dari India dan telah menghasilkan terjemahan Al Quran ke bahasa Inggeris yang sangat famous.

"Maulana" Abul Ala Maududi adalah seorang lagi pemikir dan penulis Islam dari India yang sangat famous dan yang telah menghasilkan buku dan karya Islam yang mempengaruhi pemikiran agama zaman moden. 

Dan hari ini pula kita melihat angkatan 'penghujah' Islam yang makin menjadi famous dan terkenal dari United Kingdom, Amerika Syarikat, Kanada dan negara 'bukan Islam' yang lain. Antara mereka yang terkenal ialah Shabbir Aly (Canada), Yasir Qadhi (Amerika) dan ramai lagi. Saya tak tahulah jika semua orang Islam akan setuju atau tidak dengan hujah-hujah mereka ini tetapi maksud saya ialah walaupun tanpa sistem pengajian agama di sekolah kerajaan di negara bukan Islam, generasi Islam baru di sana tidak luput fahaman dan pegangan mereka.  

Di negara kita pula agama sudah lama dipolitikkan. Kita tidak dapat nafikan bahawa antara sebab kerajaan BN memberi tumpuan yang begitu besar kepada pengajian agama dalam kurikulum sekolah kebangsaan ialah untuk melawan pengaruh PAS. Untuk menunjuk bahawa BN lebih layak jadi pembela agama (maka jadilah slogan politik murahan 'agama, bangsa dan negara'). Agama di-slogan-kan oleh parti politik.  Sehingga pelakon politik tidak lepaskan peluang bergambar depan Kaabah dan masjid. Itulah negara kita. Semuanya mainan murahan politik.

Tetapi masalah yang jauh lebih besar (bagi kita) ialah  setiap hari hanya mempunyai 24 jam. Daripada Zaman Batu sehingga sekarang masyarakat manusia yang berjaya dan maju adalah masyarakat yang menghabiskan sebanyak-banyak daripada masa 24 jam ini untuk memperbaiki peluang hidup mereka atas muka bumi Allah swt. Dan sejak 250 tahun sudah peradaban manusia zaman perindustrian melipat gandakan tekanan masa dalam semua perkara. Setiap hari kita sangat kekurangan masa.      

Di sinilah kita melihat bahawa agama tidak dapat membantu manusia mengatasi isu-isu berkaitan kehidupan harian kita. Sebaliknya agama telah menciptakan nama-nama khusus seperti duniawi (worldly matters), sekular (secular), kehidupan sementara (temporal) dsbnya untuk memisahkan antara kehidupan dunia dan zaman akhirat.

Siang dan malam ini juga terjadi sebab para agamawan tidak dilatih untuk menangani isu-isu dan hal-hal kehidupan harian. Tidak ada satu pun kitab agama yang mengajar cara untuk memotong bukit untuk di buat jalan. Atau cara membina loji air untuk memutihkan air mentah dari sungai.  Jadi kitab agama tidak boleh membantu manusia dalam hal-hal sedemikian yang menjadi makin kronik di merata dunia. 

Agama menuntut piala kepakaran dalam hal-hal sesudah maut, ia itu alam barzakh (sesudah mati) dan akhirat (selepas kebangkitan semula). 

Beza besar antara kehidupan nyata (kehidupan realiti atas mukabumi Allah swt ini) dan alam barzakh serta akhirat ialah kita boleh tahu keputusan, kesudahan, pencapaian, kebetulan dan kesilapan kehidupan atas mukabumi  ini sewaktu hayat kita juga. Jika kita hidup senang, selesa, sihat dan selamat maka berjayalah kita. Jika kita hidup susah, papa, tersiksa dan senantiasa tidak selamat maka kita sudah gagal dalam kehidupan ini.

Tetapi bagi alam barzakh dan akhirat pula kita tidak boleh tahu sedikit pun samada kita lah calon yang akan selamat dan berjaya. Kita perlu melalui Hari Kiamat dulu, titian siratulmustakim, sebelum kita boleh masuk syurga atau neraka. Seberapa banyak konfiden pun ajaran agama tetapi keputusan akhirat dan alam barzakh bukan dalam tangan kita. Agama jaminkan kepastian cara ke akhirat tetapi agama tidak jaminkan kepastian siapa calon pemenangnya.

Balik kepada realiti kehidupan atau kehidupan asaskan realiti atau kehidupan atas mukabumi Allah swt kita hanya mempunyai 24 jam setiap hari untuk menguruskan segala keperluan hidup. Ini termasuk masa untuk belajar, berlatih, cari pengalaman, menimba ilmu berguna dsbnya. 

Dan pada abad ke 21 rupanya bulan pun akan menjadi lombong bijeh entah apa bila negara China membina moonbase atau pangkalan atas permukaan bulan. Begitu juga tujuan meneroka planet Mars atau Marikh.  Tetapi jauh sebelum manusia mendarat di bulan atau atas planet Mars, teknoloji roket, teknoloji komputer, teknoloji GPS dan banyak lagi teknoloji berkaitan roket dan angkasa lepas sudah pun memberi kesan yang sangat besar kepada kehidupan harian kita di atas mukabumi.  Tanpa GPS kita tidak boleh ada Grab, Waze, Google Maps, ukur tanah menggunakan drone, Air BnB, pemetaan digital dan macam-macam lagi.

Kejayaan kehidupan manusia pada abad ke 21 ini sangat bergantung kepada teknoloji terkini yang berevolusi pada setiap saat. Negara China sudah hampir nak testing pesawat jet yang boleh sampai dari Bejing ke New York dalam masa sejam atau dua jam sahaja. Kelajuan keretapi angkut barang (freigh train) sekarang sekitar 40km sejam sahaja. Negeri China sedang merancangkan keretapi angkut barang dengan kelajuan 200 km sejam !!  

Kejayaan abad ke 21 akan mencerminkan kejayaan STEM atau Science, Technology, Engineering dan Mathematics. STEM pula bergantung 100% kepada  'evidence based learning' atau 'scientific learning'  pada had yang maksimum. Penggunaan lojik, rasional, kaedah saintifik, perbahasan bebas tanpa sebarang sekatan atau ancaman (ancaman masuk penjara, ancaman kena dakwa di mahkamah, ancaman kena culik dan dihilangkan atas sebab pandangan berbeza dsbnya). 

Negara termaju di dunia pun sedang memikir semula bagaimana mereka boleh majukan lagi masyarakat mereka menghadapi cabaran masa depan di mana tiada siapa pun boleh monopolikan ilmu pengetahuan dan kepakaran. Tiada siapa pernah sangka India akan menjadi gergasi computer software sedunia atau negeri China akan melepasi Amerika Syarikat sebagai kuasa ekonomi dan kuasa tentera terbesar di dunia.  

Untuk memenuhi keperluan hidup masyarakat dalam keadaan dunia yang makin mencabar kita perlu memburu ilmu STEM yang berasaskan evidence based learning ia itu secara saintifik, lojik dan rasional.  Sebenarnya kita tidak mempunyai banyak pilihan pun. 

 Artikel ini adalah pandangan penulis dan tidak semestinya mewakili MMKtT.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.